Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) adalah salah satu ekosistem dengan tipe hutan hujan pegunungan dan savana yang terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. TNGR ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.280/Kpts-II/1997 dengan luas 40.000 ha walaupun di lapangan luasnya lebih dari 41,000 ha. Keberadaan Gunung Rinjani bagi masyarakat di Pulau Lombok sangat penting karena lebih dari 26% daratan yang ada di Pulau Lombok adalah merupakan kawasan Rinjani dari total 10.000 km2 luas pulau Pulau Lombok. Gunung Rinjani yang mencapai ketinggian 3.726 mdpl merupakan “Jantung” Pulau Lombok sehingga, Rinjani bukan saja berfungsi sebagai pemelihara ekosistem yang ada di pulau ini, akan tetapi juga menyediakan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi masyarakatnya.
Keberadaan hutan yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) maupun kawasan hutan yang berada di sekelilignya yang merupakan daerah penyangga seringkali terabaikan kelestariannya. Bencana banjir baru-baru ini yang terjadi di daerah Kecamatan Sambalia Lombok Timur memberikan pesan bahwa kondisi hutan di daerah ini yang merupakan kawasan penyangga dari TNGR telah mengalami kerusakan dalam kategori kritis. Kawasan yang dulunya merupakan hutan lambat laun telah berubah menjadi hamparan ladang-ladang pertanian. Perilaku perambahan dan pembalakan masih sering terjadi sehingga menyebabkan laju kerusakan hutan yang terus bertambah.
Salah satu fungsi hutan adalah menyerap dengan cepat dan menyimpan air dalam jumlah yang banyak ketika hujan lebat terjadi. Namun ketika hutan digunduli, hal ini tentu saja membuat aliran air terganggu dan menyebabkan air menggenang dan banjir yang mengalir ke pemukiman penduduk. Kenyataan inilah yang terjadi di daerah Sambalia dimana hutan yang ada di daerah itu tidak mampu menampung debit air yang berlimpah diakibatkan oleh adanya intensitas hujan yang tinggi sehingga, menyebabkan daerah aliran sungai tidak mampu lagi menampung limpahan air yang berasal dari kawasan hutan terlebih lagi dengan adanya pendangkalan sungai yang diakibatkan oleh pengendapan baik itu yang disebabkan oleh lumpur maupun dari sampah yang ada telah menyebabkan banjir di wilayah itu.
Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini memang telah menyebabkan perubahan cuaca yang tidak bisa diduga sehingga terkadang intensitas hujan yang turun melebihi dari perkiraan. Namun, kondisi ini bukanlah salah satu cara pembenaran dari peristiwa bencana yang terjadi. Perilaku manusia juga berkontribusi terhadap keseimbangan ekosistem yang ada. Menurut UU No. 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diketahui bahwa ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling memengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Tak jauh berbeda dengan pengertian ekosistem menurut Soemarwoto (dalam Indriyanto, 2006) bahwa ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Menarik apabila mengutip komentar Kepala Bidang Hutan Konservasi SDA dan Ekosistem Dinas LHK Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dimuat di harian Lombok Post (Edisi : Sabtu/18/02/2017) yang menyatakan bahwa kondisi hutan di daerah Sambelia kondisinya sudah sangat kritis yang diakibatkan oleh adanya eksploitasi hutan yang berlebihan baik yang dikelola oleh masyarakat melalui HKm maupun oleh perusahaan. “Apa yang terjadi sekarang bukan merupakan pekerjaan minggu lalu, melainkan hasil dari perbuatan bertahun-tahun “ ungkap Musal sang Kepala Bidang. Perilaku penebangan liar dan berbagai perambahan-perambahan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan sejatinya telah menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem di daerah tersebut.
Pertanyaan sekarang ini adalah siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab terhadap berbagai kejadian bencana yang terjadi ini ?. Bila pertanyaan ini menjadi acuan mencari pembenaran maka, tidak akan pernah kita menemukan akar jawaban sebenarnya karena pastinya akan ada saling klaim atau pengakuan pembenaran dari masing-masing pihak baik itu dari sudut pemerintah maupun masyarakat. Lombok Research Center (LRC) yang merupakan suatu lembaga non pemerintah memberikan perhatian yang berlebih terhadap permasalahan pelestarian lingkungan ini dan tidak ingin terjebak dan masuk dalam perdebatan siapa benar dan siapa yang salah. Langkah nyata yang dilakukan oleh lembaga ini adalah dengan mengaplikasikan program Green Belt (Sabuk Hijau) Rinjani yaitu program Agroforestry berbasis tanaman gaharu dan tanaman di bawah tegakan yang telah dilaksanakan dalam dua tahun belakangan ini.
Lombok Research Center (LRC) memandang bahwa persoalan hutan tidak bisa dilihat secara spasial saja melainkan harus diurai satu persatu permasalahan yang telah menyebabkan adanya perilaku-perilaku ilegal sehingga menyebabkan terjadi kerusakan hutan seperti yang terjadi saat ini. Seperti diketahui bahwa masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kawasan yang berfungsi sebagai daerah penyangga umumnya termasuk dalam kategori masyarakat miskin. Kondisi ini juga disebabkan oleh tidak meratanya lapangan kerja yang bisa diakses oleh masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka masuk ke dalam hutan dan melakukan perilaku-perilaku ilegal terhadap keberlangsungan kelestarian hutan. Dogma bahwa manusia sebagai makhluk paling sempurna di dunia telah menjadi pola pikir yang absolut terhadap hak-hak penguasaan alam tanpa penekanan kepada tanggungjawab pelestarian. Pola pikir ini yang dicoba dirubah oleh Lombok Research Center (LRC) melalui program Green Belt yaitu bagaimana supaya masyarakat mampu bersinergi dengan alam untuk kebaikan bersama. Kenapa pohon Gaharu dipilih oleh LRC karena selain berfungsi sebagai tanaman penyangga yang menjaga kesimbangan lingkungan, pohon ini juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Diharapkan nantinya dari program ini adalah terjaganya kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem juga mampu memberikan manfaat kepada masyarakat dari sudut ekonomi. Adanya nilai ekonomi yang terkandung didalam program ini juga diharapkan perilaku masyarakat yang masih gemar masuk ke dalam hutan akan semakin berkurang karena dengan adanya Gaharu ini memberikan kepastian ekonomi bagi masyarakat. Selain itu pohon Gaharu juga termasuk ke dalam komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Terlebih pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLH) telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengelolaan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) melalui pendekatan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan atau HKm.
Kerusakan hutan yang terjadi diharapkan tidak semakin meluas karena program Green Belt ini berfungsi untuk menjadi tameng atau pembatas bagi masyarakat agar tidak terus masuk ke dalam hutan. Cukup sudah kerusakan hutan yang terjadi sekarang ini sehingga program ini merupakan upaya nyata yang dilakukan oleh LRC sebagai bentuk tanggungjawab terhadap prinsip-prinsip kelestarian hutan yang selama ini menjadi pegangan. Gaharu yang merupakan tanaman tahunan sehingga hasil yang didapatkan tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat maka, LRC mengkombinasikan progam agroforestry ini dengan tanaman di bawah tegakan seperti Jahe Gajah, Lengkuas, Pepaya, dan tanaman empon-empon lainnya. Harapannya selain hasil utama dari Gaharu masyarakat dapat menikmati hasil dari komoditi musiman tersbut dan memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesehjateraan masyarakat di dalam maupun di luar kawasan yang menjadi daerah penyangga.
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki akal budi. Tuhan Yang Maha Esa memberikan keistimewaan ini hanya kepada manusia. Salah satu penyebabnya adalah karena manusia memiliki sebuah tugas penting di bumi, yaitu untuk melestarikan alam dan memelihara setiap makhluk hidup yang ada di dalamnya. Oleh karena itu manusia harus mendapat pemahaman dan pendidikan yang tepat untuk terus meningkatkan pengetahuan dan juga pemahaman mengenai budi pekerti termasuk etika lingkungan itu sendiri. Pendidikan mengenai upaya-upaya melestarikan lingkungan terutama kelestarian hutan harus dilakukan sejak dini. Untuk itu Lombok Research Center juga telah dan terus berkontribusi terhadap upaya-upaya tersebut. Hal ini dapat dilihat dari program kegiatan Rowah Gawah yang telah dilakasanakan pada medio 2016 dimana, program ini mengajarkan dan menanamkan kepada anak-anak di Desa Puncak Jeringo mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan dengan cara melakukan penanaman 10 ribu bibit di desa tersebut dengan melibatkan anak-anak. Teori saja tidak cukup untuk mengajarkan anak-anak mengenai pelestarian hutan melainkan harus dipraktikkan secara langsung mulai dari penanaman sampai pada bentuk tanggunjawab terhadap apa yang mereka tanam.
Alam sesungguhnya memiliki fungsi kehidupan, patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama, kepentingan manusia dan kepentingan alam itu sendiri. Lombok Research Center juga melihat bahwa potensi ekonomi yang ada di dalam hutan tanpa harus merusaknya adalah potensi budidaya madu. Madu yang juga merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bila dikelola dengan baik akan menghasilkan dari sudut ekonomi. Lombok Research Center memiliki program pemberdayaan yaitu telah membantu masyarakat Desa Puncak Jeringo untuk memasarkan dan memberikan pelatihan terhadap peningkatan kualitas dari salah satu komoditi HHBK ini. Lombok Research Center membantu mulai dari pengemasan, pemasaran, bahkan membranding produk masyarakat Desa Puncak Jeringo itu sehingga menjadi terkena seperti sekarang ini. Untuk menjaga kualitas dan kemurnian dari madu yang dipasarkan, Lombok Research Center juga bekerjasama dengan Balai POM Mataram untuk meneliti kemurnian Madu Alam Puncak Jeringo sebelum dilepas ke pasaran.
Itulah beberapa program nyata yang telah dilakukan oleh Lombok Research Center didalam upaya peningkatan dan menjaga kelestarian lingkungan terutama kelestarian hutan. Lombok Research Center tidak mau masuk ke dalam perdebatan yang masih dalam tataran teoritis karena secara kelembagaan prinsip kaji tindak yang dianut oleh Lombok Research Center menjadi rule atau pegangan didalam setiap program-program yang dilaksanakan.
Sebagai penutup dan mengutip penyataan dari Luna Vedia ( Yayasan BaKTI) bahwa Rinjani bukanlah “jantung” melainkan Rinjani adalah “Kelamin” dimana apakah kita akan menjadi penjaga dari kesucian Rinjani sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita ataukah kita akan bertindak sebagai pemerkosa yang menjarah dan mengeksploitasi Rinjani secara berlebihan. Semua itu tergantung dari sudut mana kita akan menempatkan diri terhadap kelestarian Rinjani sebagai berkah yang Tuhan berikan kepada Pulau Lombok yang tercinta ini.
1 komentar:
Write komentarrinjani patut dijaga dan dilestarikan bukan untuk di sia-siakan,,
ReplyEmoticonEmoticon